KARYAKARYA pada tahun 1976, saat usianya 11 tahun Welldo sudah mengikuti pameran lukisan yang di adakan di slovia building Jakarta, dan sejak saat itu pula ia sering mengikuti pameran-pameran di indonesia dan mancanegara diantaranya, pameran tunggal di IAIN Sunan Ampel Surabaya pada tahun (1985) pameran kaligrafi di Singapura (1998) Pameran Laporan Wartawan Tribun Bali, I Putu Supartika DENPASAR - Enam orang seniman dan budayawan dari Bali menerima anugerah pengabdi seni tahun 2021 yaitu Adi Sewaka Nugraha. Hadiah ini diserahkan secara langsung oleh Gubernur Bali, I Wayan Koster. Keenam seniman yang mendapatkan Adi Sewaka Nugraha merupakan bentuk apresiasi pemerintah Provinsi Bali, atas pengabdian dan dedikasi para seniman dan budayawan yang tanpa kenal lelah dan putus asa dalam hal pelestarian, pembinaan, dan pengembangan seni budaya Bali. “Proses pemberian penghargaan didasari atas usulan dari Pemerintah Kabupaten/Kota, Lembaga Seni, Lembaga Pendidikan, seperti ISI, UMHI maupun instansi lainnya, untuk kemudian diseleksi oleh tim penilai dan selanjutnya ditetapkan dengan Surat Keputusan Gubernur Bali,” kata Kadisbud Provinsi Bali Prof. Dr. I Gede Arya Sugiartha. Penerima Adi Sewaka Nugraha memberi gambaran mengenai perjalanan berkesenian yang telah dilakoni serta semangat ngayah dalam berkesenian oleh para seniman dan budayawan. Penerima Adi Sewaka Nugraha ini diberikan piagam penghargaan dan uang tunai masing-masing sebesar Rp Baca juga Denpasar Raih Juara I Lomba Busana Adat Kerja dan Busana Casual pada PKB XLIII Keberadaan Adi Sewaka Nugraha ini diharapkan mampu menggelorakan semangat beraktivitas para seniman maupun generasi selanjutnya untuk menggali, melestarikan, membina dan mengembangkan seni budaya Bali serta penciptaan karya-karya seni yang pada akhirnya memberikan dampak terhadap kesejahteraan masyarakat. Enam seniman penerima Adi Sewaka Nugraha adalah Ni Ketut Arini maestro tari dari Denpasar, I Nyoman Sujena seniman tari dari Desa Antosari, Tabanan, I Wayan Suweca seniman karawitan dari Gianyar, I Ketut Suarna Dwipa seniman tari dari Desa Tejakula, Buleleng, Ida Nyoman Sugata seniman pedalangan dari Karangasem dan I Ketut Gede Rudita seniman karawitan dari Kabupaten Badung. Sosok Ni Ketut Arini sudah tak asing lagi di dunia tari Bali. Perempuan kelahiran Banjar Lebah, Desa Sumerta Kaja, Kota Denpasar, 15 Maret 1943 ini dikenal sebagai salah seorang maestro tari Bali, khususnya Tari Condong. Baca juga Didesain Kedux Garage, Dua Patung Sang Kala Trisemaya Akan Hiasi Jalan Gajah Mada Denpasar I Nyoman Sujena memerankan tokoh Bima, bagi pecinta kesenian Bali 1980-an hingga 1990-an, tentu masih ingat dengan kesenian sendratari Mahabrata. Tokoh pentingnya, Bima dan Sekuni. Setiap kali sendratari produksi Pemerintah Provinsi Bali itu dipentaskan, panggung terbuka Ardha Chandra yang berkapasitas lebih dari penonton itu selalu penuh sesak. Penonton menunggu-nunggu aksi apik tokoh Bima dan Sekuni. Selanjutnya, I Wayan Suweca justru terkenal sebagai seniman karawitan.
Tokohyang kemudian dikenal sebagai Panglima Perang Kerajaan Klungkung Bali ini bernama Anggosuto. Kedatangan Anggosuto ke daratan Madura dalam kaitan memimpin perang melawan Raja Wetan Sumenep. Meski akhirnya meninggal dan dimakamkan di Komplek Pemakaman Kebun Dadap, jasa Anggosuto cukup besar bagi kehidupan dan penghidupan
- Indonesia memiliki seniman seni rupa yang terkenal dan beberapa diantaranya telah mendunia. Seniman-seniman tersebut diantaranya, Abdullah Suriosubroto, Affandi Koesoma, Barli Sasmitawiyana, Basuki Abdullah, Hendra Gunawan, Henk Ngantung, dan Popo berkarya, para seniman memiliki gaya berbeda-beda untuk menghasilkan suatu karya seni yang kemudian menjadi ciri khas sendiri. Kesamaannya adalah seluruh seniman tersebut berkarya di bidang seni dari Antropologi 2009 karya Dyastiningrum, seni rupa diartikan sebagai karya seni yang bisa dirasakan oleh indera manusia, khususnya indera penglihatan dan perabaan. Dalam menikmati suatu karya seni, nilai estetis pada sebuah karya seni rupa dapat bersifat objektif dan subjektif. Seni rupa terbagi menjadi dua jenis, yaitu seni tiga dimensi dan dua dimensi. Seni rupa tiga dimensi adalah karya seni yang dapat dilihat dari segala arah, karena memiliki ukuran panjang, lebar, dan tinggi. Sedangkan seni rupa dua dimensi adalah karya seni rupa yang hanya memiliki dua ukuran atau sisi, panjang dan lebar. Misalnya gambar, lukisan, seni grafis,desain komunikasi visual brosur, banner, website. Dalam pembuatan suatu karya seni membutuhkan teknik-teknik tertentu. Misalnya dalam seni rupa dua dimensi terdapat teknik seni lukis, seni batik, kriya anyaman, tatah sungging, dan seni grafis. Infografik Tokoh Seni Rupa Indonesia. Tokoh Seni Rupa Indonesia 1. Abdullah Suriosubroto Abdullah Suriosubroto lahir di Semarang pada tahun 1878 dan meninggal di Yogyakarta tahun 1942. Ia merupakan anak dari tokoh pergerakan nasional, Wahidin Sudirohusodo. Aliran seni yang dianutnya adalah naturalisme. Ia sangat suka melukis pemandangan alam. Abdullah Suriosubroto dikenal sebagai pelukis Indonesia pertama pada abad ke-20. Anaknya yang bernama Basoeki Abdullah juga bergelut dalam dunia seni. Ia dikenal dengan karyanya dalam menjuarai lomba lukis wajah Ratu Belanda Juliana. Pada 1949, Ratu Belanda Juliana membuka sayembara melukis potretdirinya. 2. Affandi Koesoema Affandi Koesoema lahir pada Mei tahun 1907. Ia menciptakan banyak lukisan dengan berbagai aliran dan tidak menentukan satu aliran seni untuknya. Pada tahun 1950, Affandi mulai mengerjakan teknik melukis plotot, yakni menorehkan cat langsung dari tube-nya. Ia adalah pelukis Indonesia yang karyanya terkenal di berbagai negara. Affandi telah menghasilkan lebih dari 2000 lukisan. Pada tahun 1950, ia banyak mengadakan pameran tunggal di India, Inggris, Eropa, dan Amerika Serikat. 3. Barli Sasmitawiyana Barli Sasmitawiyana lahir di Bandung pada tanggal 18 Maret 1921 dan meninggal pada 8 Februari 2007. Seniman asal Bandung ini menganut aliran seni realisme. Ia pernah menerima penghargaan Satyalancana Kebudayaan pada tahun 2000. Bersama Affandi, Hendra Gunawan, Soedarso, dan Wahdi Sumanta, Barli Sasmitawinata membentuk “Kelompok Lima Bandung.” Pada tahun 1948, Barli mendirikan Sanggar Seni Rupa Jiwa Mukti. Sejak tahun 1930 Barli dikenal sebagai ilustrator di Balai Pustaka, Jakarta. Ia juga menjadi ilustrator untuk beberapa koran yang terbit di Bandung. 4. Basuki Abdullah Basuki Abdullah lahir di Desa Sriwedari, Surakarta, pada tanggal 27 Januari 1915. Ia adalah seniman bergaya realisme. Ia anak dari seniman terkenal R. Abdullah Suryosubroto dan ibunya bernama Raden Nganten Ngadisah. Pada sebuah kompetisi di Belanda, ia mengalahkan 87 orang pelukis Eropa dan mengharumkan Indonesia. Karya seni lukis Basuki Abdullah berjudul Diponegoro memimpin Pertempuran, dapat diakses melalui link berikutLink Karya Seni "Diponegoro" Basuki Abdullah 5. Hendra Gunawan Hendra Gunawan lahir di Bandung pada tanggal 11 Juni 1918 dan meninggal di Denpasar tahun 1983. Karyanya beraliran realisme, setelah sebelumnya ia menganut ekspresionisme. Beberapa hasil lukisannya yang melegenda adalah Jual Beli di Pasar, Perempuan Menjual Ayam, Sketsa, Bisikan Iblis. Kehidupan kesenian Hendra didokumentasikan dalam buku "Hendra Gunawan A Great Modern Indonesian Painter" 2001.6. Henk Ngantung Henk Ngantung lahir di Bogor, 1 Maret 1921. Tidak hanya menjadi seorang pelukis, Henk Ngantung juga wakil gubernur periode 1960-1964 dan gubernur Jakarta tahun 1964-1965. Pada Bulan Agustus 1948, ia mengadakan pameran tunggal di Hotel Des Indes, Jakarta. Karya seni lukis Henk Ngantung berjudul Tanah Lot, dapat diakses melalui link berikutLink Lukisan "Tanah Lot" Henk Ngantung 7. Popo Iskandar Pada awalnya aliran seni Popo Iskandar, terpengaruh oleh gurunya yang bernama, Ries Mulder, orang Belanda yang mengajar di Juruan Seni Rupa. Ries cenderung berkiblat pada mazhab kubisme dan abstrak. Tetapi pengaruh realisme Hendra Gunawan pun tetap kuat. Seiring berjalannya waktu, Popo menemukan gaya seninya sendiri. Ia memiliki kegemaran melukis kucing sehingga ia mendapatkan julukan sebagai pelukis kucing. Lukisannya berjudul Young Leophard, Bulan di Atas Bukit, Bunga, Cat dan masih banyak juga Pameran Seni Rupa Rencana Kerja, Jadwal Kegiatan, dan Tahapan Pengertian Seni Rupa Murni Kenali Aspek-Aspek Beserta Contohnya Tokoh-Tokoh Karya Seni Rupa Populer, Picasso hingga da Vinci - Pendidikan Kontributor Chyntia Dyah RahmadhaniPenulis Chyntia Dyah RahmadhaniEditor Yonada Nancy MasyarakatBali selalu mengadakan upacara kematian di saat ada seseorang atau kerabat yang meninggal dunia. Upacara kematian ini dikenal dengan nama upacara ngaben. Upacara ini yaitu upacara pembakaran bagi orang yang sudah meninggal. Pada intinya upacara ini untuk mengembalikan roh leluhur (orang yang sudah meninggal) ke tempat asalnya. Patut diapresiasi. Bangga jadi orang Bali Ajang tahunan Pesta Kesenian Bali PKB ke-41 tahun 2019 resmi berakhir ditandai dengan penutupan yang dilaksanakan di Panggung Terbuka Ardha Candra, Taman Budaya Art Center Denpasar, Sabtu 13/7 malam lalu. Namun sebelum semuanya berakhir, untuk mengapresiasi pengabdian para seniman yang telah memajukan seni budaya Bali, Pemerintah Provinsi Bali memberikan penghargaan pengabdi seni kepada 11 seniman penghargaan diberikan pada 4 Juli 2019 lalu. Tidak saja penghargaan berupa piagam dan uang, Gubernur Bali I Wayan Koster juga menawarkan dua pilihan. Bisa jaminan kesehatan bila sang seniman sudah mulai sakit-sakitan, atau jaminan pendidikan untuk anak cucunya di kemudian seniman penerima penghargaan pengabdi seni ini diantaranya Dewa Putu Gingsir Seniman Sastra dari Badung, I Nyoman Sukanta Seniman Ukir Telor dari Bangli, Anak Agung Gede Ngurah Agung Pemayun Seniman Tari dan Tabuh dari Buleleng, I Nyoman Suarsa Seniman Tari dari Denpasar, I Wayan Sugita Seniman Drama Gong dari Gianyar.Ada juga I Komang Arsana Seniman Sastra Daerah dari Jembrana, Ida Ayu Karang Adnyani Dewi Seniman Tari dari Karangsem, Ida Bagus Ketut Wedana Seniman Sastra dari Klungkung, I Ketut Suada Seniman Tari Arja dari Tabanan, I Wayan Gulendra Seniman Lukis dari ISI Denpasar, dan I Wayan Senen Seniman Karawitan yang berkarya dari Yogyakarta.Mereka merupakan seniman terpilih yang telah melalui proses seleksi oleh Tim Kurator Pesta Kesenian Bali. Seperti apa sih sepak terjang mereka? Berikut profilnya1. Dewa Putu Gingsir Badung Times/IstimewaDewa Putu Gingsir 71 merupakan seniman asal Banjar Sangiangan, Desa Cemagi, Kabupaten Badung yang terkenal aktif menekuni bidang sastra. Sejak tahun 1980-an, ia terjun di bidang seni dharmagita khususnya kekawin atau palawakya. Dari menekuni bidang tersebut, ia pun kerap meraih prestasi. Berikut prestasi beliau Juara III Lomba Palawakya Tingkat Kabupaten Badung 1989 Juara I Lomba Kekawin Tingkat Kabupaten Badung 1990. Juara II Lomba Kekawin Tingkat Provinsi Bali 1991 Juara I Lomba Palawakya Tingkat Provinsi Bali 1993 Juara II Lomba Membaca Palawakya Utsawa Dharma Gita Nasional 1993 Masih banyak lagi prestasi beliau. Pengalaman dan kompetensinya dibidang dharmagita membuat Dewa Putu Gingsir sering dipercaya menjadi dewan juri pada ajang lomba kekawin maupun palawakya. Berkat pengalamannya di tingkat nasional, ia juga kerap ditunjuk sebagai pembina kontingen Bali pada ajang yang sama di beberapa daerah seperti di Jakarta 2003 dan 2012, Lampung 2005, Kendari 2007, Bali 2009, dan Palembang 2014. Bagi Dewa Gingsir, seni sastra merupakan salah satu cara dalam mendalami pengetahuan-pengetahuan yang berkaitan dengan spirit keagamaan. Di dalamnya banyak terkandung sikap-sikap mental positf yang membentuk budi ataupun perilaku tentang pengetahuan akan spirit agama. Sehingga seorang seniman yang mendalami sastra tentu kaya akan I Nyoman Sukanta BangliIDN Times/Irma YudistiraniI Nyoman Sukanta 57 merupakan seniman asal Banjar Pande, Kecamatan/Kabupaten Bangli yang menggeluti seni ukir. Uniknya, dia menekuni seni ukir telur. Berkat tangan dinginnya, limbah-limbah kulit telur disulap menjadi karya seni yang bernilai tinggi. I Nyoman Sukanta mewarisi bakat seni ukir dari sang ayah, Alm. I Nyoman Tanggap. Awalnya, Sukanta menekuni seni ukir kayu, namun saat melihat sang ayah memahat telur, timbul keinginan Sukanta untuk ikut mencoba. Sayangnya keinginannya tersebut tak lantas diamini sang Ayah. Sukanta akhirnya melakukan secara diam-diam saat Ayahnya tidak kemampuan dan keteguhan yang dimiliki Sukanta, sang ayah akhirnya mengizinkannya untuk menekuni seni ukir telur. Telur yang digunakan Sukanta sebagai media ukir tidak sembarang telur. Ia memilih kulit telur burung unta dan burung kaswari sebagai tempat mencurahkan seni ukir telur, Sukanta memperoleh banyak pengalaman. Tahun 1996 Sukanta pernah diundang ke Istana Negara oleh Ibu Tien Soeharto Alm untuk ikut dalam pameran Ria Pembangunan. Selain itu Sukanta pernah juga ikut dalam Indonesia Expo di Monumen Nasional Monas Jakarta tahun 2001, dan INACRAFT di Jakarta Convention Centre JCC tahun 2008 lalu. Kini, karya seni ukir telurnya sudah didaftarkan ke Kementrian Hukum dan HAM, dan memperoleh Hak atas Kekayaan Intelektual HaKI pada tahun 2017 Anak Agung Gede Ngurah Agung Pemayun BulelengIDN Times/Irma Yudistirani Sosok Anak Agung Gede Ngurah Agung Pemayun 64 dikenal sebagai seniman tari asal Bali Utara, Buleleng. Dalam penyerahan penghargaan pengabdi seni beberapa waktu lalu terungkap, rupanya pria yang akrab dipanggil Gung Kak ini ternyata guru seni Gubernur Bali, I Wayan Koster, saat menempuh pendidikan di SMA Negeri tari yang tinggal di Jalan Pulau Misol Nomor 38, Singaraja, ini memiliki segudang prestasi. Tak hanya seni yang berbau tradisi, Gung Kak pun handal dalam menggarap seni modern seperti teater ataupun drama, di antaranya Juara I Lomba Drama Modern tingkat Kabupaten Buleleng 1985 dan Juara I Festival Cak se-Bali 1994.Kemudian bersama Sekaa Gong Banda Sawitra, Desa Kedis, Gung Kak mengikuti Festival Tari Klasik dan Tradisional tahun 1975. Sementara saat bersama sekaa Gong Desa Menyali, ia mengikuti Parade Sendratari Ramayana di Banyuwangi, Jawa Timur tahun lainnya, Gung Kak juga memiliki andil menjadi penggarap bondres Cak Anti Narkoba tahun 2000 sebagai duta Provisi Bali. Juga membawakan Tari Janger saat mewakili Bali dalam Festival Tari Rakyat Nasional tahun bidang organisasi, dirinya tercatat pernah ikut aktif dalam kepengurusan Ikatan Seni Tari dan Tabuh ISTATA Kabupaten Buleleng tahun 1985-1990. Bahkan Agung Pemayun dipercaya selama empat periode ikut sebagai Majelis Pertimbangan Budaya Listibya Kabupaten Buleleng dari tahun 1990 hingga I Nyoman Suarsa DenpasarIDN Times/Irma Yudistirani Meski lahir dari trah seorang Cina Bali, namun kemampuan I Nyoman Suarsa 62 tahun sebagai seniman tari di Bali tak bisa diragukan lagi. Seniman asal Wangaya, Denpasar yang lebih dikenal masyarakat dengan nama Yang Pung ini memiliki kontribusi besar dalam dinamika perkembangan tari di menapaki panggung seni pertunjukan Bali lewat tari Baris dan Kebyar Terompong sejak kelas 3 SD. Kemampuan yang ia miliki sebagai seorang penari bisa dikatakan secara otodidak. Gerakan demi gerakan ia perhatikan dengan saksama membuatnya semakin termotivasi untuk belajar menari meskipun sang ayah Nyo Chichyang dalam menerima ilmu membuat banyak orang kagum, sebab saat itu tak banyak anak-anak yang pandai menguasai tari Baris sebaik dirinya. Ia kemudian mulai tertarik dengan tari Kebyar Terompong saat ia menonton pagelaran Gong Geladag di Pemedilan pada era 1970-an. Ayahnya kemudian mencarikan ia seorang guru bernama Pan Dena alm asal Lukluk, akhirnya ia juga berkesempatan menimba ilmu dari seniman karawitan I Wayan Beratha yang banyak mengajarinya agem-agem tari Kebyar Terompong hingga pentas perdana di Banjar Sad Merta Denpasar. Dia juga beberapa kali merasakan indahnya menari di Istana Negara, dan memberikan workshop tari di Universitas Negeri juga tercatat pernah pentas di Taman Mini Indonesia Indah TMII, menjadi penari dalam acara “Taue Song Asian Festival” tahun 2005 di Jepang hingga menjadi duta Kesenian ke beberapa Negara di Eropa. Beberapa acara yang pernah ia garap di antaranya Mahabandana, dan Menyongsong Matahari yang kini berganti nama menjadi Melepas kredibilitasnya sebagai seorang seniman, Suarsa juga menciptakan banyak karya-karya tari. Di antaranya Tari Gopala dan Tari Tedung Sari yang tetap eksis diajarkan kalangan sanggar-sanggar tari di hampir seluruh wilayah di Bali hingga I Wayan Sugita GianyarIDN Times/Irma Yudistirani Sempat jaya pada era 1980-an, Seni Drama Gong banyak mengalami pasang surut. Keberadaannya kian meredup, digantikan seni-seni pertunjukan lainnya. Tetapi I Wayan Sugita 54, seniman Drama Gong yang terkenal memainkan peran antagonis Patih Agung ini tak mau menyerah begitu saja. Seniman asal Banjar Bukit Batu, Samplangan Gianyar terus berupaya berkarya melestarikan seni yang membesarkan namanya Patih Agung yang diambilnya selalu mengudang caci maki penonton. Bukan karena penampilannya yang buruk melainkan karena ia berhasil memainkan lakon tersebut. Ia pertama kali mencicipi seni drama gong pada tahun 1984 mewakili Kabupaten Gianyar dalam ajang Pesta Kesenian Bali PKB. Kala itu, kelompok seninya, sekaa drama gong Saraswati meraih juara situ, ia terus menekuni perannya sebagai Patih Agung. Ia beberapa kali berganti sekaa mulai dari bersama sekaa Panjamu Asrama, sekaa Wira Bhuana yang melahirkan nama nama besar seperti Rawit, Suratni, Jero Madyayani. Sugita pernah pula bergabung dalam Kerthi Bhuana, dan Bintang Remaja Gianyar. Bersama Bintang Remaja Gianyar, Sugita dipercaya mewakili Kabupaten Gianyar dalam lomba drama gong di PKB pada tahun 1993 dan meraih juara juga tercatat pernah mengantarkan sekaa drama gong Bandana Budaya sebagai juara 2 di tahun 1994. Ia juga yang membina sekaa drama duta Kota Denpasar dalam PKB tahun 1995 hingga peroleh juara 1. Kemudian di tahun 1997 Sugita membentuk sekaa drama gong Sancaya Dwipa Milenium bersama almarhum Wayan Tarma Dolar yang eksis hingga kurun era tahun 2000, perkembangan drama gong mulai menurun. Menyikapi hal tersebut, Sugita berkomitmen mengembangkan seni drama gong agar tetap eksis, berkembang, dan disukai banyak orang. Munculah sikap Sugita membentuk SEKDUT Sekaa Demen Ulian Tresna, dimana sekaa ini mewadahi grup bondres, prembon, peguyuban lawak, calonarang, hingga MC berbahasa Bali tanpa meninggalkan seni drama gong sebagai I Komang Arsana JembranaIDN Times/Irma Yudistirani I Komang Arsana 66 merupakan seniman asal Kabupaten Jembrana yang aktif di bidang Dharmagita. Meski usianya tak lagi muda, Arsana tetap tekun dalam seni dharmagita khususnya sloka dan kakawin. Berbagai prestasi diraihnya karena kemampuannya dalam olah vokal dan kecakapannya pada seperti mewakili Kabupaten Jembrana dalam Utsawa Dharma Gita tingkat provinsi dalam bidang lomba kekawin tahun 1986. Saat itu, ia menyabet juara I. Prestasinya di bidang sekar agung tersebut mengantarkannya untuk maju mewakili Provinsi Bali dalam Utsawa Dharma Gita tingkat nasional pada tahun kompetensi yang ia miliki, Arsana dipercaya untuk duduk sebagai ketua Widya Sabha Kabupaten Jembrana dua periode berturut-turut. Organisasi itu ia ketuai mulai tahun 2010-2015 dan periode ke dua tahun 2015 hingga 2020 mendatang. Selain itu, dirinya juga dipercaya untuk menjadi pembina Utsawa Dharma Gita di Kabupaten secara khusus dilantunkan saat berlangsungnya ritus keagamaan. Mendalami seni dharmagita tentunya bukan perkara mudah, karena dibutuhkan kepiawaian dalam melantunkan nada-nada serta pendalaman tentang pengetahuan keagamaan. Meski tidak mudah, namun Arsana percaya ilmunya dalam hal sloka dan dharma wacana bisa ia tularkan pada generasi muda di Ida Ayu Karang Adnyani Dewi Karangasem Times/IstimewaDari sekian banyak seniman yang menerima penghargaan, Ida Ayu Karang Adnyani Dewi 63 adalah satu-satunya perempuan. Sisanya laki-laki. Perannya dalam merekonstruksi seni klasik Gambuh serta menciptakan karya-karya tari baru menjadi sebuah kebanggaan yang ia rasakan sebagai seorang asal Griya Alit, Dusun Tri Wangsa, Budakeling, Karangasem ini setelah menyelesaikan pendidikannya, ia kemudian bekerja sebagai seorang Dosen di IKIP Saraswati Tabanan sejak tahun 1986 higga 2010. Saat sebagai dosen, ia juga didaulat sebagai pembina tari di kampusnya. Beberapa garapan yang pernah ia ciptakan kala itu ialah Fragmen Tari Dewi Saraswati 1989, Tari Padma Saraswati 1990 dan Tari Saraswati Murti 1991.Sejak tahun 2011, dirinya memutuskan hijrah kembali ke tanah kelahirannya Karangasem dengan menjadi Dosen di STIKIP Agama Hindu Amlapura hingga sekarang. Salah satu karyanya di kampus ini yakni menciptakan Tari Mahadewi pada tahun 2018. Pada tahun 2006 kemudian membentuk sanggar Tri Sila di Bebandem, karya yang ia hasilkan seperti Tari Dwi Ratna, Tari Sekar Tunjung dan Tari Kupu-Kupu Kuning. Tak hanya piawai dalam seni tari, Adnyani Dewi bahkan banyak menciptakan karya sastra berupa puisi dan lagu di tahun 2006. Dwi Warna, Gotong Royong, Bali Dwipa, Lingga Yoni, Kali Mutu, Sekar Padma, dan lainnya adalah karya-karya 2007 dirinya merevitalisasi Gambuh bersama Sanggar Cita Wistara, Desa Budakeling. Sekaa ini sempat pentas di beberapa daerah seperti di Bugbug, Manggis, Tianyar dan Subagan. Adnyani Dewi juga cakap memerankan tokoh Galuh dalam pementasan seni Arja dan ia lakoni semenjak tahun 2008. Dia juga menggarap seni Parwa anak-anak tahun 2015, dan seni Gambuh anak-anak pada 2018 akan pentingnya menyeimbangkan estetika seni dan spirit agama, dia juga membentuk sebuah pasraman yang diberi nama Pasraman Bajra Jnana di Desa Budakeling. Pesraman ini terfokus pada materi yang berkaitan dengan seni budaya Bali seperti seni tari dan tabuh, seni kidung atau pesanthian, mejejahitan, tata busana adat bali, membuat jajan suci, dan Ida Bagus Ketut Wedana KlungkungIDN Times/Irma Yudistirani Bali memiliki banyak sekali seniman di bidang palawakya. Satu diantarnya yakni Ida Bagus Ketut Wedana. Pria asal Desa Cucukan, Selat, Kabupaten Klungkung ini tak pernah berhenti untuk terus mengabdikan dirinya di bidang seni dan budaya khususnya di bidang seni palawakya, dirinya kerapkali menjadi pilihan utama Kabupaten Klungkung dalam ajang lomba-lomba palawakya. Berbagai ajang lomba ia ikuti dan meraih segudang prestasi. Seperti menjadi Juara 1 Lomba Palawakya tingkat Kabupaten Klungkung pada tahun 2002, dan Juara 2 Palawakya tingkat provinsi Bali dalam gelaran Utsawa Dharma Gita tahun tahun 1999 Ida Bagus Ketut Wedana juga sempat mengikuti misi kesenian festival budaya di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Ia juga sempat berkiprah di panggung internasional tepatnya di Korea dalam urusan menjalankan misi kesenian. Di usianya yang semakin medua, Ida Bagus Ketut Wedana tidak ingin generasi muda enggan belajar seni terutama Dharmagita. Karena itu saat ini ia juga membina anak-anak muda yang mau belajar dan mendalami I Ketut Suada TabananIDN Times/Irma Yudistirani I Ketut Suada 58 merupakan seniman arja asal Kabupaten Tabanan. Ia dikenal piawai memerankan sosok Wijil dalam pementasan Arja. Seniman asal Banjar Buduk, Desa Bengkel, Kediri, Kabupaten Tabanan ini mengawali karirnya dalam dunia seni Arja dengan bergabung bersama sekaa Arja mengaku, selain karena hobi pada kesenian Arja, ia awalnya menekuni kesenian arja karena adanya seni Arja yang disakralkan di desanya. Ini pun menuntut ia harus bisa meenguasai demi melestarikannya. Lambat laun, ia merasa nyaman dengan kesenian arja. Karakter yang diperankannya pun menjadi daya tarik saat pentas Arja dan selalu ditunggu-tunggu kerapkali terlibat dalam Pekan Arja se-Bali yang diselenggarakan tahun 1986. Suada juga berpartisipasi menampilkan Arja di Panggung Penerangan dalam rangka memperingati HUT RI tahun 1996. Serta menyandang predikat Pasangan Punakawan terbaik dalam acara Lomba Drama Gong serangkaian HUT Bali Post tahun itu, kiprahnya menari arja juga ke hampir semua wilayah di pulau Bali seperti Provinsi Lampung, Ciledug Banten, Lombok Barat dan Lombok Timur. Tak hanya seni arja, seniman ini pun handal dalam memainkan seni pakeliran sebagai dalang wayang kulit. Meskipun terjadi banyak pengembangan, namun Suada tetap memegang teguh pakem-pakem seni I Wayan Gulendra ISI DenpasarIDN Times/Irma Yudistirani Keteguhannya menggeluti seni lukis sejak masih anak-anak, membuat seniman I Wayan Gulendra kini meraih kesuksesan lewat goresan-goresan tangannya pada kanvas. Seniman lukis asal Banjar Patolan, Desa Pering, Blahbatuh Gianyar ini memutuskan untuk merantau ke luar Bali demi mempertajam pengetahuannya di bidang lukis dan memilih kuliah di ISI Yogyakarta 1988 hingga menyelesaikan Pascasarjana di kampus yang sama tahun 2005 yang kini menjadi akademisi Jurusan Seni Rupa Murni di ISI Denpasar ini sudah menujukkan karya-karya seninya melalui pameran sejak era 1992. Gulendra rutin memamerkan karyanya dalam pameran bersama serangkaian PKB sejak tahun 1992 hingga tahun 2003. Ia pun sempat mengikuti pameran bersama dalam rangka pembukaan Museum Rudana 1995.Tercatat puluhan pameran telah ia gelar sejak saat itu hingga kini. Beberapa diantaranya seperti; Pameran bersama STSI Denpasar di Museum Neka 1996, pameran bersama STSI Denpasar di enam museum berbeda di Bali 2000, Pameran Pangider Bhuana’ di Museum Rudana Ubud 2002, Pameran dalam rangka Pesta Kesenian Bali PKB tahun 2014 dan 2016, dan banyak lagi pameran hanya di Bali, Gulendra pun kerap mengikuti pameran di daerah-daerah lain seperti; pameran bersama dosen ISI Denpasar di Societ Yogyakarta 2003, Pameran bersama dosen ISI Denpasar di Malang dan Museum Widayat Magelang 2004, pameran tunggal dalam rangka tugas akhir pascasarjana 2005, pameran bersama di Lombok 2007. Termasuk menggelar pameran bersama STSI Denpasar di Canberra Australia 1998, pameran bersama di Cina 2017 dan Pameran Drawing di Okinawa Jepang 2018.11. I Wayan Senen YogyakartaIDN Times/Irma Yudistirani Bagi seniman karawitan, I Wayan Senen 69, ada perasaan bangga ketika bisa melakoni seni dan budaya hingga ke luar Bali. Seniman asal Karangasem ini banyak berkontribusi memajukan seni budaya Bali di tanah menamatkan pendidikannya di Konservatori Karawitan KOKAR Bali tahun 1970, ia lanjut ke Akademi Seni Tari Indonesia ASTI Denpasar hingga lulus di tahun 1975. Senen kemudian bertekad melanjutkan studinya di ASTI Yogyakarta dan lulus tahun 1980. Sedangkan lulus S-3 di tahun dalam bidang akademis membuat dirinya memiliki segudang pengalaman sebagai tenaga pengajar di ASTI Yogyakarta 1976-1984, ISI Yogyakarta 1984-2015, dan Pascasarjana ISI Yogyakarta 2002-2013. Ia memiliki banyak sekali karya dibidang seni diantaranya seperti Lagu “Jaya Wijaya” karya bersama Singgih Sanjaya yang dipentaskan tahun 1995 di Jakarta. Bersama seniman Jepang Shin Nakagawa dengan karya berjudul “Awan” yang ditampilkan tahun 1997. “Nyanyian Negriku” merupakan karya selanjutnya di tahun 2003, gending “Tabuh Lima Nada” 2007, “Duel Kendang” 2008, gending “Bhakti Swari” yang meraih predikat penyajian terbaik pada Festival Seni Sakral Keagamaan Hindu I Nasional 2010 di juga sempat bertidak sebagai sutradara dalam sendratari Kanishka yang dipentaskan saat Tawur Kasanga Nasional di Candi Prambanan tahun 2019, serta berbagai gending iringan tari lainnya. Senen yang tinggal di daerah Sleman, Yogyakarta ini juga telah banyak menghasilkan karya tulis yang berkaitan dengan seni karawitan. Seperti “Aspek Ritual Nusantara” 1997, “Komparasi Tembang Macapat Jawa dan Bali” 2001, “Wayan Beratha Pembaharu Gamelan Kebyar di Bali” 2002, “Komparasi Gending Jawa dan Bali” 2003, “Perempuan dalam Seni Pertunjukan di Bali” 2005, “Kualita Keindahan dalam Gending Bali” 2006, “Nilai Edukatif Dimensi Dua, Tiga, dan Briuk Sepanggul dalam Gamelan Bali 2006, “Bunyi-bunyian dalam Upacara Keagamaan Hindu di Bali” 2015. Baca Juga Fenomena Pernikahan Beda Kasta di Bali & Perawan Tua, Diskriminasikah? Sedangdosa yang dilakukan terhadap orang lain maka yang perlu dilakukan adalah memohon maaf yang bagi beberapa orang sangat sulit untuk dilakukan. Padahal Rasulullah SAW selalu minta maaf ketika bersalah bahkan terhadap Ibnu Ummi Maktum beliau memeluknya dengan hangat seraya berkata “Inilah orangnya, yang membuat aku ditegur oleh Allah
BarongBali adalah satu di antara begitu banyak ragam seni pertunjukan Bali. Barong merupakan sebuah tarian tradisional Bali yang ditandai dengan Topeng dan kostum badan yang dapat dikenakan oleh satu atau dua orang untuk menarikannya. Di Bali ada beberapa jenis barong yakni Barong Ket, Barong Bangkal, Barong Landung, Barong Macan, Barong Gajah,
. 0 335 336 267 360 286 94 204

tokoh yang mengatakan mayoritas orang bali adalah seniman yaitu